Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memohon kepada Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk memformulasi ulang acuan belanja wajib atau mandatory spending anggaran pendidikan yang sebesar 20%.
Sebagaimana diketahui, ketentuan belanja pendidikan 20% APBN itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Sistem Pendidikan Nasiona.
Sri Mulyani mengatakan, basis belanja wajib untuk anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN itu selama ini rancu karena tidak memperhitungkan kondisi riil belanja negara. Akibatnya, ketika kebutuhan belanja negara tengah tinggi yang disebabkan pelemahan kurs atau kenaikan harga minyak, mandatory spending itu harus terserap untuk kebutuhan belanja dalam rangka menopang belanja subsidi.
“Kalau kita lihat episode-episode tahun-tahun sebelumnya kadang-kadang belanja naik tinggi banget sehingga anggaran pendidikan itu harusnya naik, tapi kenaikan dari belanja seperti kalau kenaikan subsidi 2022 itu bukan karena kenaikan kita dapat duit banyak atau pendapatan besar dan kemudian belanjanya kita pakai untuk subsidi, tapi karena memang harga minyak waktu itu naik, kursnya menurun, sehingga belanja subsidi melonjak tinggi banget,” kata Sri Mulyani di Banggar DPR, Jakarta, Rabu (4/9/2024).
Ia mencontohkan kondisi ini terjadi seperti pada 2022. Pada tahun itu, penerimaan negara melonjak karena adanya kenaikan harga minyak mentah dunia ditambah dengan ambruknya kurs rupiah, implikasinya ialah beban subsidi yang ikut meroket dari semula didesain Rp 350 triliun membengkak menjadi Rp 550 triliun. Kenaikan itu harus dikompensasi dari belanja pendidikan yang sebesar 20%.
“Kenaikan sampai Rp 200 triliun itu memberi konsekuensi harus 20% dari anggaran pendidikan. Nah ini yang menyulitkan dalam mengelola keuangan negara dalam artian bagaimana APBN tetap terjaga, defisitnya tetap di bawah 3%, APBN terjaga tetap sustainable, tapi compliance terhadap 20% anggaran pendidikan itu tetap kita jaga,” tegasnya.
Namun, Sri Mulyani menekankan, yang sering terjadi pula, realisasi anggaran pendidikan itu kerap di bawah ketentuan mandatory spending itu. Ia mencontohkan saat pelaksanaan anggaran pada 2022 yang belanjanya membengkak karena kebutuhan belanja subsidi Rp 200 triliun hanya dalam waktu empat bulan sejak Agustus, namun belanja wajib pendidikan tak mengikutinya.
Oleh sebab itu, ia mengatakan di Kementerian Keuangan sebetulnya telah membahas pentingnya mengubah basis perhitungan mandatory spending pendidikan yang sebesar 20% itu seharusnya bukan dari belanja negara, melainkan berdasarkan pendapatan negara.
“Maka kami juga sudah membahasnya di Kementerian Keuangan ini caranya mengelola APBN tetap comply atau patuh dengan konstitusi di mana 20% setiap pendapatan kita harusnya untuk pendidikan,” tegas Sri Mulyani.
“Tapi kalau 20% dari belanja, di dalam belanja itu banyak ketidakpastian itu anggaran pendidikan menjadi ‘kocak’ ya, menjadi naik turun. Ini yang saya juga memahami banyak sekarang mempertanyakan mengenai sebetulnya pengalokasian anggaran pendidikan itu seperti apa,” ungkapnya.
Sri Mulyani juga menambahkan pengubahan ini penting untuk menjaga Menteri Keuangan untuk bermanuver dalam menjaga APBN sesuai tata kelola yang diatur UU, sambil menjaga kesehatannya untuk merespons gejolak perekonomian yang terjadi baik secara global maupun domestik.
“Nah kami butuh transparansi tapi pada saat yang sama menteri keuangan, bendahara negara itu harus punya ruang untuk manuver karena APBN itu ditetapkan hari ini, minggu depan saja, itu asumsi bergerak, gak mungkin semuanya dikunci enggak bergerak, pasti akan crack. Sehingga bagaimana menteri keuangan selanjutnya itu tetap bisa punya ruang untuk manuver tapi tetap transparan dan tetap patuh terhadap konstitusi,” papar Sri Mulyani.
Makanya, praktik yang terjadi dalam pengelolaan anggaran itu ia katakan selama ini menggunakan anggaran mandatory spending yang sebetulnya masuk dalam struktur above the line itu dengan mengkategorikannya sebagai cadangan anggaran pendidikan sebagai bantalan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
“Ini yang menurut saya perlu kita bahas mengenai definisi anggaran pendidikan, terutama sumber untuk menghitung 20% itu. Kami nanti mengusulkan agar bendahara negara ke depan tetap menjaga APBN sustainable, kredibel, namun juga tetap memenuhi kebutuhan pembangunan dan tetap patuh terhadap konstitusi, ini yang nanti kami usulkan untuk panjang perundang-undangan APBN akan kami sampaikan juga,” ujar Sri Mulyani.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah pun merespons baik permintaan Sri Mulyani itu. Ia mengatakan, Banggar DPR akan mengirimkan surat untuk memformulasi ulang ketentuan mandatory spending itu ke pimpinan DPR, supaya bisa dibahas di badan legislasi.
“nanti akan mengambil peran untuk bersurat kepada DPR, agar DPR meneruskan ke baleg untuk melakukan revisi undang-undang pendidikan. Karena berbagai item kami sudah dapat daripada keahlian DPR, termasuk Sekolah-Sekolah Kedinasan, diklat dan sebagainya, Akpol, Akmil, itu seharusnya bagian dari anggaran pendidikan,” tutur Said.