Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menilai idealnya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital tidak digabung menjadi satu dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

“Memang idealnya undang-undang ini dipecah, enggak jadi satu (dalam RUU Penyiaran). Ada undang-undang penyiaran, ada undang-undang telekomunikasi, ada undang mungkin penyiaran digital sendiri, atau mungkin ada undang-undang mestinya selain keamanan cyber-nya,” kata Sukamta di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

Hal itu disampaikan Sukamta dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB), dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI).

Namun, dia mengkhawatirkan apabila undang-undang tersebut dipecah sendiri-sendiri maka produk legislasi tersebut tak kunjung disahkan sebab proses penyusunan suatu undang-undang memakan waktu yang tidak sebentar.

“Undang-Undang Penyiaran ini kita revisi sudah sejak 2012, sampai hari ini belum kelar, Pak. Sudah ganti zaman, ganti teknologi, sudah usang banget undang-undang (tahun) 2002. Saya khawatir kalau ini kami pecah, nanti pecahnya nggak jadi (undang-undang), Pak. Betul-betul enggak jadi,” ujarnya.

Untuk itu, Sukamta mengatakan demi kepraktisan maka tidak apa-apa jika sementara pengaturan terkait penyiaran maupun penyiaran digital digabung terlebih dahulu ke dalam RUU Penyiaran.

“Memang jadi agak ada pemaksaan soal definisi (penyiaran) misalnya, memang agak kami memaksakan, isinya juga mungkin nanti agak dipaksakan antara penyiaran berbasis terestrial, penyiaran OTT, kemudian ada tadi konten kreator,” ucapnya.

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono juga mengamini bahwa lebih baik pengaturan terkait penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital digabung terlebih dahulu dalam RUU Penyiaran.

“Undang-undang itu kan juga living document ya, Pak. Jadi, memang bilamana ke depannya dibutuhkan untuk pemisahan, ya bisa saja (nanti dipecah), tapi kalau tidak dimulai sekarang, nanti tidak ada ujungnya. Jadi, biar kami selesaikan ini (RUU Penyiaran), nanti ke depannya bisa ada penyempurnaan lagi,” katanya.

Sementara itu, anggota DPR RI Junico Siahaan menilai pentingnya meredefinisi terlebih dahulu soal pemaknaan penyiaran itu dalam RUU Penyiaran, apakah sebatas pada penyiaran gelombang radio frekuensi atau mencakup pula platform digital.

“Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan sebuah one-to-many. Sementara hari ini platform tidak merasa bahwa mereka menyiarkan. Jadi, ini kita harus re-definisi sampai ketemu betul-betul,” kata Nico Siahaan, sapaan karibnya, dalam rapat tersebut.

Sebab terlepas dari medium penyiarannya apakah melalui gelombang radio frekuensi atau platform digital, dia memandang secara substansi yang ingin diatur dan dilindungi dalam RUU Penyiaran adalah sama-sama terkait dengan konten yang disiarkannya.

“Sementara ke depan tantangannya akan ada AI, ada Starlink, kita enggak tahu nyebutnya apa nanti karena tidak pakai frekuensi. Entah apalagi nanti teknologi ke depan, tapi bentuknya adalah sebenarnya konten itu yang mau kita kawal sama-sama,” tutur dia.

Sebelumnya, Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP RRI, hingga Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dalam rangka panitia kerja membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3).

Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*