Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024 pada pekan ini. Pada periode April-Juni, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,05%.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku bangga dengan capaian itu. Menurut dia, mencapai level pertumbuhan 5% di tengah kondisi dunia yang serba tidak tentu merupakan sebuah prestasi.
“Di tengah ketidakpastian global, fundamental ekonomi kita baik. Di kuartal II, kita tumbuh 5,05%, dibandingkan China kita masih lebih tinggi, China 4,7%, sedangkan Singapura 2,9%, Korsel 2,3%, dan juga terkait Meksiko 2,24%,” kata Airlangga dikutip, Rabu, (7/8/2024).
Kendati capaian itu mendekati target pemerintah, sejumlah ekonom mengungkapkan kekhawatirannya ketika melihat detail kinerja ekonomi selama kuartal II ini. Berikut ini merupakan pendapat para ekonom setelah mengulik kondisi fundamental di balik angka 5,05% itu.
1. Stagnasi Ekonomi
Pertumbuhan pada kuartal II 2024 lebih rendah dari capaian kuartal I yang mencapai 5,11%. Angka 5,05% juga lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2023 yang mencapai 5,17%. Selain itu, kinerja ekonomi pada kuartal II ini sebenarnya menandai pertumbuhan ekonomi RI yang tidak pernah menembus angka 5 di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan penyebab ekonomi RI stagnan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik. Dia mengatakan sejak 2022, terdapat kebijakan yang relatif menekan ekonomi baik dari sisi fiskal maupun moneter.
Esther mengatakan salah satu faktor yang menekan daya beli masyarakat adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada 2022. Dia mengatakan kenaikan pajak itu menyebabkan daya beli masyarakat melemah. Padahal, kata dia, sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pada perekonomian Indonesia.
“Akibatnya ekonomi melemah, daya beli masyarakat juga ikut menurun ditandai dengan meningkatnya pengeluaran dan tabungan yang menurun,” kata dia.
Selain itu, Esther berpendapat kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate turut menyumbang tekanan pada perekonomian. Dia menilai tinggi suku bunga BI tersebut menyebabkan investor menahan diri untuk melakukan ekspansi bisnis.
2. ‘Kecanduan’ Konsumsi
Sektor konsumsi kembali menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2024. Konsumsi berkontribusi 54,53% pada pertumbuhan. Ketergantungan akut ekonomi Indonesia pada belanja warganya ini dianggap mengkhawatirkan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) M. Faisal mengatakan konsumsi dalam negeri sebenarnya merupakan kekuatan ekonomi yang dimiliki Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, Indonesia menjadi pasar yang dilirik tidak hanya pelaku industri dalam negeri tapi juga luar negeri.
“Kekuatan konsumsi masyarakat sebenarnya merupakan kekuatan ekonomi dan menunjukan kekuatan daya beli,” kata Faisal.
Faisal mengatakan yang jadi soal adalah ekonomi Indonesia masih terlalu bergantung pada sisi konsumen. Sementara, kata dia, sektor produksi seharusnya ikut dikembangkan sebagai motor utama penggerak perekonomian.
“Jadi poinnya adalah bagaimana pertumbuhan dari sisi produksi bisa menyamai atau bahkan melebihi konsumsi,” kata dia.
3. Pelemahan Daya Beli
Kinerja pertumbuhan ekonomi pada kuartal II juga menunjukan tanda-tanda pelemahan daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi selalu berada di bawah 5% selama 3 kuartal beruntun sejak akhir 2023.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai melemahnya daya beli menjadi salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2024 hanya 5,05% turun dari kuartal-I yang mencapai 5,11%.
“Tetap tumbuh tapi tak setinggi sebelumnya, itu kenapa di triwulan-II ini lebih rendah,” kata Telisa.
Telisa mencatat selama kuartal-II 2024 terjadi perlambatan pertumbuhan pada sektor-sektor sekunder seperti fashion, lifestyle dan jasa premium. Menurutnya, pelambatan pertumbuhan sektor-sektor ini menjadi pertanda bahwa masyarakat semakin menahan belanja.
“Mereka lebih fokus ke bahan makanan yang harganya naik karena inflasi pangan,” katanya.
Menurut Telisa, pergeseran konsumsi masyarakat ke ‘zona makan’ ini terlihat dari tumbuh pesatnya sektor industri makanan dan minuman. BPS mencatat selama kuartal II, sektor akomodasi dan makan-minum tumbuh paling tinggi 10,17% yoy. Selain itu, sektor industri makanan dan minuman juga tumbuh cukup tinggi 5,53% yoy.
“Zona makanan-minuman masih positif, informasi dan komunikasi juga masih naik karena komunikasi sudah menjadi kebutuhan pokok sekarang,” kata dia.
4. Deindustrialisasi Dini
Kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian Indonesia semakin kecil pada kuartal II 2024. Hal ini terjadi hampir bersamaan dengan Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun masuk zona kontraksi per Juli 2024.
Merujuk data BPS, sektor industri pengolahan masih menjadi penyumbang utama pertumbuhan, namun hanya mampu tumbuh di bawah rata-rata pertumbuhan nasional, yakni 3,95%. Pada kuartal-II 2024, sektor ini tercatat menyumbang pertumbuhan sebesar 0,79%. Kontribusi itu turun dibandingkan pada triwulan-I 2024 yang mencapai 0,86% dan triwulan-II 2023 yang mencapai 0,98%.
Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang melihat kontribusi yang menyusut itu sebagai tanda terjadinya perlambatan ekonomi. Dia menilai pelambatan ini dipicu salah satunya oleh suku bunga tinggi.
“Ya karena perlambatan ekonomi. Suku bunga tinggi menekan konsumsi dan daya beli, jadinya bisnis atau industri dan manufaktur tidak berminat untuk ekspansi,” kata Hosanna.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky mengatakan walaupun pertumbuhan ekonomi tetap positif, namun pertumbuhan itu menunjukan permasalahan struktural. Dia mengatakan pertumbuhan ekonomi selama ini lebih didorong oleh faktor musiman.
Dia mengatakan 45% aktivitas ekonomi Indonesia ditopang oleh hanya tiga sektor, yaitu pertanian, pengolahan dan perdagangan. Ketiga sektor termasuk pengolahan melanjutkan tren pertumbuhan di bawah rata-rata nasional. “Stagnansi yang persisten terjadi di sektor pengolahan menguatkan indikasi terjadinya deindustrialisasi prematur,” ujar dia.
5. Kalah Sama ‘Tetangga’
Capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2024 lebih rendah dibandingkan negara-negara di ASEAN. Vietnam memimpin pertumbuhan di ASEAN dengan tumbuh 6,93% (yoy) pada kuartal II-2024 disusul dengan Malaysia (5,8%).
Masih rendahnya pertumbuhan ekonomi dibandingkan Malaysia dan Vietnam ini menjadi kabar buruk buat pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mengingat dua negara tersebut adalah pesaing langsung untuk Indonesia.
Vietnam selalu menjadi bintang di kawasan ASEAN dengan tumbuh rata-rata 6,25% pada empat kuartal terakhir. Sementara itu, rata-rata Indonesia hanya tumbuh 5,04% pada empat kuartal terakhir.