Prajurit Satgas Pamtas RI-Papua Nugini Kewilayahan dari Batalyon Infanteri (Yonif) 125/Si’mbisa Pratu Benny Ferdiansyah (kanan) membagikan bubur kacang hijau kepada anak-anak usai kelas belajar bersama di Rumah Baca dan Taman Bermain Si’mbisa, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua Selatan, Selasa (13/2/2024). Kegiatan pembagian bubur kacang hijau secara rutin yang dilakukan oleh Satgas Pamtas RI-Papua Nugini Kewilayahan dari Yonif 125/Si’mbisa itu sebagai bentuk pemenuhan gizi bagi anak-anak Asmat. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Perjalanan sejarah Tentara Nasional Indonesia (TNI), dulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), selalu terpaut dengan perkembangan kebijakan perpolitikan bangsa kita dari masa ke masa.
Sejatinya, tidak ada yang salah dari apa yang dilakukan oleh TNI dalam mengikuti irama kebijakan pemimpin negara dan bangsa ini, karena panglima tertinggi TNI adalah Presiden Republik Indonesia.
Sebagai prajurit, TNI memang tunduk dan menjalankan perintah atau kebijakan yang ditetapkan oleh panglima tertingginya. Hanya ada satu pilihan yang bisa diikuti oleh TNI dalam mengarungi sejarah pengabdiannya untuk negeri ini, yakni “patuh” kepada pemimpin tertinggi.
Dalam menjalankan amanah sebagai penjaga kedaulatan negara, TNI juga menanggung beban yang tidak ringan atau konsekuensi dari keteguhannya berpegang pada konstitusi itu.
Ketika pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan Dwi Fungsi dari Presiden Soeharto, TNI menanggung risiko dianggap terlalu jauh memasuki, bahkan dituduh merebut wilayah sipil.
ABRI banyak mendapat sorotan dari konsekuensinya selalu berpegang teguh pada konstitusi tersebut. Pada era Orde Baru, sangat tidak boleh TNI (ABRI) tidak menjalankan perintah Presiden Soeharto ketika itu.
Kalau pada masa Orde Baru itu ABRI dianggap keliru, sesungguhnya kenyataan itu yakni patuh pada panglima tertinggi memang pilihan satu-satunya yang bisa dijalankan oleh tentara.
Tentara tidak boleh membangkang pada kebijakan, yang maknanya adalah perintah dari panglima tertinggi, dengan mengambil “jalan lain” dari rel Dwi Fungsi.
Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa TNI, setidaknya di era reformasi, tidak pernah keluar dari rel yang dipilih oleh pemimpin negeri yang mengharuskan sistem bernegara kita menjalani politik demokratis. https://blog-posmetromanto.online