Eskalasi di Timur Tengah telah mempertemukan dua rival bebuyutan di negara itu, Israel dan Iran. Kedua negara telah bertukar serangan rudal dalam beberapa pekan terakhir.
Pada Sabtu lalu, Israel telah menyerang sejumlah pabrik rudal dan fasilitas militer di sejumlah lokasi di Iran. Ini merupakan balasan atas serangan Teheran pada 1 Oktober yang menembakkan lebih dari 200 rudal terhadap Israel.
Salah satu serangan mengenai salah satu pusat produksi rudal yang sempat digunakan sebagai fasilitas nuklir, Khojir. Militer Iran juga mengatakan pesawat tempur Israel menggunakan ‘hulu ledak yang sangat ringan’ untuk menyerang sistem radar perbatasan di provinsi Ilam, Khuzestan, dan sekitar Teheran.
Dalam ranah geopolitik Timur Tengah yang penuh perhitungan, serangan sebesar yang dilancarkan Israel pada hari Sabtu biasanya akan ditanggapi dengan respons yang kuat. Pilihan yang mungkin adalah putaran lain dari rentetan rudal balistik yang telah diluncurkan Iran dua kali tahun ini.
Membalas secara militer akan memungkinkan Iran untuk menunjukkan kekuatan tidak hanya kepada warganya sendiri tetapi juga kepada Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, kelompok militan yang memerangi Israel. Keduanya bahkan merupakan garda depan dari apa yang disebut Poros Perlawanan yang didukung Teheran.
Meski begitu, analis berpandangan Teheran mungkin memutuskan untuk tidak membalas secara langsung dengan kekerasan untuk saat ini. Pasalnya, Iran mungkin khawatir balasan yang lebih besar akan timbul dari Israel.
“Iran akan mengecilkan dampak serangan itu, yang sebenarnya cukup serius,” kata Sanam Vakil, direktur program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Chatham House yang berpusat di London, kepada Associated Press, Senin (28/10/2024).
“Iran terkekang oleh kendala militer dan ekonomi, dan ketidakpastian yang disebabkan oleh pemilihan umum Amerika Serikat (AS) dan dampaknya terhadap kebijakan Amerika di kawasan itu,” tambahnya.
Hal serupa juga disampaikan direktur proyek Iran di International Crisis Group, Ali Vaez. Vaez mengatakan bahwa saat ini Iran perlu melihat sekutunya, Hizbullah, yang telah menderita tekanan besar akibat serangan Israel.
“Setiap upaya Iran untuk membalas harus berhadapan dengan fakta bahwa Hizbullah, sekutu terpentingnya dalam melawan Israel, telah mengalami degradasi yang signifikan dan sistem persenjataan konvensionalnya telah dua kali berhasil ditangkis,” tuturnya.
Meski begitu, dari sisi Israel, pemimpin oposisi Yair Lapid sudah mengatakan serangan itu tidak cukup jauh. Namun bagi sejumlah pengamat, hal ini juga dilakukan Tel Aviv untuk menahan eskalasi lebih lanjut dengan Teheran.
“Keputusan Israel untuk fokus pada target militer semata memungkinkan Iran menyelamatkan muka. Pilihan target Israel mungkin juga merupakan cerminan setidaknya sebagian dari kemampuannya,” ujar peneliti Institut Studi Keamanan Nasional yang berbasis di Tel Aviv, Yoel Guzansky.
“Israel tidak mungkin mampu menghancurkan fasilitas nuklir Iran sendiri dan akan membutuhkan bantuan dari AS.”
Vakil dari Chatham House juga sepakat dengan hal ini. Ia pun akhirnya menyatakan respons Iran kemungkinan akan diredam dan bahwa serangan itu dirancang untuk meminimalkan potensi eskalasi.
“Israel sekali lagi menunjukkan ketepatan dan kemampuan militernya jauh lebih unggul daripada Iran,” tuturnya.
Lebih lanjut, sejumlah analis juga mengungkapkan potensi perang besar antara kedua negara itu tetaplah terbuka. Namun, buku pedoman perang di kedua belah pihak dirasa masih tidak jelas, dan mungkin masih ditulis.
“Tampaknya ada ketidaksesuaian besar baik dalam hal pedang yang dipegang masing-masing pihak maupun perisai yang dapat dikerahkannya,” timpal Vaez dari International Crisis Group.
“Meskipun kedua belah pihak telah mengalibrasi dan menghitung seberapa cepat mereka menaiki tangga eskalasi, mereka sekarang berada di wilayah yang sama sekali baru, di mana garis merah baru tidak jelas dan yang lama telah berubah menjadi merah muda.”