
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa menilai ajaran Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan ayah dari Presiden Prabowo Subianto relevan dengan situasi Indonesia saat ini.
“Sumitronomics sangat relevan untuk diimplementasikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan yang tinggi dan berkesinambungan,” kata Purbaya dalam acara Simposium Nasional: Sumitronomics dan Arah Ekonomi Indonesia dikutip Kamis (5/6/2025).
Purbaya mengaku, sepanjang hidupnya belum pernah membaca karya dari pemikiran Sumitro. Dirinya juga tidak belajar ekonomi di Indonesia, melainkan di Amerika Serikat (AS). Jelang acara ini digelar, Purbaya baru mempelajari pemikiran Sumitro. Dia mengaku terkejut karena banyak hal yang sejalan dengan ilmu yang sudah dipelajarinya.
Sumitro mengenalkan konsep trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang dinamis dan pemerataan pemanfaatan pembangunan.
Secara lebih rinci, Purbaya menyampaikan pentingnya kemandirian ekonomi nasional, utamanya dengan mendorong pengembangan usaha dengan dukungan modal domestik. “Artinya optimalisasi dana-dana di perbankan,” ujarnya.
Kedua adalah keseimbangan peran pemerintah dan swasta dalam pembangunan ekonomi nasional atau pembangunan yang seimbang. Ketiga menjaga stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri dengan tetap mendukung keterbukaan ekonomi yang propasar serta ruang bagi investasi asing pada sektor non strategis untuk pembiayaan pembangunan.
“Menurut Prof Sumitro, industrialisasi adalah kunci untuk memajukan ekonomi Indonesia,” jelasnya.
Menurut Purbaya, Sumitro bisa memprediksi yang terjadi di masa depan. Mengacu kepada disertasi yang dikeluarkan pada 1943, Sumitro berpandangan bahwa dana di Indonesia saat itu likuiditas perbankan relatif ample bahkan di masa-masa depresi. Hal ini disebabkan oleh sulitnya penyaluran kredit, membuat likuiditas berlimpah.
“Ini sebetulnya pandangan monetaris. Saya simpulkan ilmunya gak beda-beda sama saya nih. Berarti Sumitro monetaris,” kata Purbaya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang optimal pasca orde baru. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara peran pemerintah dan swasta dalam mendorong perekonomian.
Ia membandingkan pertumbuhan ekonomi sejak era presiden RI kedua, Soeharto yakni pada tahun 1967-1997 rata-rata sebesar 6,59%. Kemudian -6,17% saat krisis moneter pada tahun 1998-1999 dibawah kepemimpinan BJ Habibie.
Lalu pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di kisaran 4,28% pada tahun 2000-2001 dan 4,77% pada tahun 2002-2004.
Berlanjut pada era Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode pada tahun 2005-2014 pertumbuhan ekonomi 5,64%-5,80% dan era Joko Widodo selama dua periode 2015-2019 sebesar 5,03%-3,40%.
Pada periode kedua Presiden Jokowi perekonomian Indonesia sempat anjlok akibat krisis pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Kendati demikian, menurut Purbaya penyebab utama penurunan bukan hanya krisis semata.
“Jaman Pak SBY, kebijakan ekonominya lebih private sector driven. Di jaman Jokowi lebih government sector driven. Padahal sebelumnya, dua-duanya jalan. Mesin pertumbuhannya yang selalu pincang dan pertumbuhannya tidak pernah optimal dan tidak pernah mencapai pertumbuhan sebelum krisis 1998,” ungkapnya.
Purbaya pun menjelaskan bahwa dalam dua dekade terakhir mesin ekonomi hanya digerakkan dari satu sisi. Pada era SBY, pertumbuhan kredit mencapai 21% per tahun dan hanya 8% di era Jokowi. Tak hanya itu, likuiditas pun melambat drastis.
“Ada satu hal yang membedakan jaman Presiden SBY dengan Presiden Jokowi.
Di jaman Pak SBY, dia cenderung market base, intervensi pemerintah ada, tapi baru mulai di akhir-akhir. Jadi dana-dana pembangunan program-program yang langsung ke rakyat lebih sedikit. Sedangkan di jaman Pak Jokowi lebih banyak karena government-driven,” ujarnya.
Tingginya tingkat kepuasan masyarakat di era Jokowi pun menjadi sorotan. Hal tersebut menurutnya karena banyaknya program yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Kenapa rakyatnya puas yang tidak jadi kaya? Karena fungsi pemerintahan, fungsi program-program yang langsung rakyat akan mempengaruhi popularitas atau kepuasan masyarakat terhadap mimpinya terhadap Presiden. Jadi program-program tadi tidak bisa dihapuskan,” tegasnya.
Maka dari itu, Purbaya menilai pentingnya stabilitas sistem perbankan agar sektor keuangan dapat menopang pertumbuhan. Pasalnya, Presiden Prabowo Subianto memiliki target pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2029 mendatang.
“Pertumbuhan yang berimbang, dua mesin dijalankan bareng-bareng. Kalau tadi mesin fiskal jalan, mesin private jalan, harusnya pertumbuhan ekonomi 6,5 sampai 7 persen enggak susah-susah amat untuk dicapai. Kalau 8 persen mungkin pakai usaha sedikit, tapi itu juga bukan hal yang mustahil,” ujarnya.
LPS sudah menjalankan apa yang menjadi pandangan Sumitro, yaitu stabilitas sistem perbankan penting sekali untuk menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan uang di bank untuk membangun masyarakat secara keseluruhan, menjamin sistem keuangan tidak berdampak seburuk waktu itu.
“LPS aktif memberikan konstribusi ke masyarakat umum melalui penguatan IT di BPS. Kita buat IT gratis sehingga bisa menjalankan fungsinya untuk membantu UMKM,” kata Purbaya.