Pakar sebut keserentakan pemilihan umum perlu dikaji kembali

Pakar sebut keserentakan pemilihan umum perlu dikaji kembali

Pengamat politik dari Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat Prof. Asrinaldi. ANTARA/Dokumentasi Pribadi

Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Asrinaldi memandang perlu mengkaji ulang keserentakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota serta kepala daerah.

“Barangkali terkait dengan keserentakan ini perlu dikaji. Kalau dikaji ‘kan bisa kita pahami dengan baik,” kata Prof. Asrinaldi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa, ketika menanggapi menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 ketimbang Pemilu 2024.

Prof. Asrinaldi mengatakan bahwa pihak terkait dapat memilih sejumlah pilihan model keserentakan pemilu untuk diterapkan pada penyelenggaraan berikutnya sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Berdasarkan putusan MK tersebut, enam model keserentakan pemilu yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, gubernur, dan bupati/wali kota;
3. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota;
4. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota;
5. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati dan wali kota;
6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.

“Nah, tinggal dipilih. Enggak mungkin kalau MK hanya putuskan saja ‘kan? Putuskan, kemudian dibiarkan,” kata Prof. Asrinaldi.

Terkait dengan menurunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024, dia mengatakan bahwa pemilih sudah jenuh dengan pemilihan-pemilihan.

“Puncak dari euforia pemilihan itu adalah di pilpres. Setelah itu, turun ke pileg (pemilu anggota legislatif) karena mereka sangat dekat dengan calon-calon. Nah, ketika pilkada mereka sudah jenuh,” jelasnya.

Ia berpendapat bahwa kejenuhan dapat terjadi karena pemilih tidak menganggap tidak berpartisipasi untuk menggunakan hak pilih dapat memberikan konsekuensi tertentu.

“Mungkin mereka berpikir bahwa ya tidak ada konsekuensi apa-apa dari pilihan-pilihan yang mereka buat, baik memilih maupun tidak memilih, sehingga mereka enggak datang pun enggak ada persoalan bagi mereka. Itu barangkali juga penting untuk kita cermati,” katanya.

Sebelumnya, anggota KPU RI August Mellaz di Jakarta, Jumat (29/11), mengatakan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 di bawah 70 persen.

Walaupun demikian, dia mengatakan bahwa angka tersebut masih dapat dikategorikan normal.

Namun, anggota KPU RI Idham Holik di Jakarta, Sabtu (23/11), mengatakan bahwa lembaganya menargetkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 mencapai 82 persen.

Pada hari Rabu (5/6), KPU RI mengungkapkan bahwa 81,78 persen pemilih menggunakan hak pilih pada Pilpres 2024, kemudian sebanyak 81,42 persen untuk Pemilu Anggota DPR RI, dan 81,36 persen untuk Pemilu Anggota DPD RI. https://superiohamburg.org

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*