Teten Mendadak Usul Koperasi Dipangkas, Begini Penjelasannya

Foto: Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM) Teten Masduki buka suara ihwal kebijakan yang mewajibkan produk-produk dari pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) bersertifikat halal, mulai (18/10/2024) mendatang. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (MenKopUKM) Teten Masduki mengusulkan agar jumlah koperasi di Indonesia dipangkas. Dengan kata lain, ia menyarankan agar koperasi-koperasi yang sudah ada saat ini melakukan penggabungan dua perusahaan atau lebih (merger). Alasannya untuk membatasi, supaya pengawasan terhadap koperasi itu sendiri masih tetap berjalan.

Mulanya Teten menjelaskan, pada saat dirinya baru menjabat sebagai MenKopUKM, kemudian Indonesia dilanda pandemi covid-19, setidaknya ada delapan koperasi simpan pinjam yang mengalami gagal bayar.

“Setelah kita evaluasi, memang selama ini rupanya ekosistem kelembagaan koperasi termasuk di koperasi simpan pinjam yang paling beresiko itu tidak dibenahi. Berbeda dengan perbankan, misalnya sejak krisis moneter tahun 1998, itu kan sudah ada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), sudah ada OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Diawasi oleh BI (Bank Indonesia) dan OJK yang lebih independen,” kata Teten dalam Economic Update CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (3/8/2024).

Sementara koperasi, katanya, saat ini masih belum memiliki fungsi pengawasan. Padahal, koperasi simpan pinjam yang ada sekarang bukan lagi koperasi skala kecil, melainkan praktiknya sudah hampir sama dengan perbankan. Artinya, relasi antara anggota dengan koperasi sudah seperti nasabah dengan bank. Dengan demikian, ia menilai sudah tidak memungkinkan jika koperasi sekarang tidak memiliki pihak pengawasan eksternal.

Ia pun mengakui bahwa undang-undang terkait koperasi masih merupakan undang-undang lama, sehingga menurutnya sudah tidak memadai lagi untuk diimplementasikan di zaman sekarang.

“Jadi Koperasi saat ini isunya adalah dia mengawasi sendiri dan meregulasi sendiri. Padahal koperasi bukan lagi koperasi kecil-kecil, praktiknya sudah hampir sama dengan perbankan. Jadi enggak mungkin lagi anggota bisa mengawasi secara efektif koperasinya, termasuk oleh badan pengawasnya sendiri. Kalau koperasinya kecil, anggotanya masih saling mengenal satu sama lain. Nah itu efektif pengawasan internal gitu ya. Tapi koperasi yang sudah besar itu membutuhkan pengawasan eksternal, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, dan banyak negara lainnya,” terang dia.

Teten menjelaskan bahwa di negara-negara lain

industri keuangan seperti perbankan dan koperasi itu harus mengikuti satu aturan yang sama. Sehingga koperasi-koperasi simpan pinjam di Eropa, lanjutnya, mereka sudah membangun bank.

“Jadi badan hukumnya koperasi, tapi pengawasannya ya pakai mematuhi regulasi yang sama (dengan bank),” lanjut dia.

Untuk itu, ia mengusulkan agar undang-undang koperasi direvisi, dan diarahkan agar koperasi simpan pinjam yang ada di tanah air memiliki pengawas eksternal, seperti diawasi LPS maupun OJK.

“Ada lembaga khusus, termasuk juga ada LPS-nya. Supaya si peminjam yang kecil bisa (tenang atau tidak khawatir) kalau ada gagal bayar itu aman. Kan nggak fair dong Kalau penyimpan di bank dilindungi, kenapa penyimpan di koperasi engga,” ucapnya.

Sekarang sih sudah lumayan

misalnya di undang-undang KSSK kan sudah clear lah. Jadi koperasi yang simpan pinjam, yang Open Loop atau membiayai di luar anggota, dan yang close loop itu di kami. Sehingga sudah dipertegas lagi yang Open Loop itu bukan hanya melayani anggota, tapi juga penyertaan modalnya dan lain-lain, sehingga hitungan kami nanti sebagian besar koperasi simpan pinjam yang saat ini bisa di bawah pengawasan OJK. Nah ini kita sedang coba verifikasi sama OJK. Karena kalau enggak, ini bisa menjadi bom waktu,” imbuh Teten.

Sejalan dengan hal tersebut,

Teten mendorong agar koperasi simpan pinjam yang sudah ada saat ini melakukan merger. Teten mengatakan, pihaknya sudah mulai menerapkan batas bawah pembuatan koperasi. Di mana hanya koperasi bermodal besar saja yang bisa berdiri. Ia menetapkan batas bawah itu di angka Rp500 juta.

“Kami mulai membatasi. Misalnya, kalau waktu itu Rp15 juta sudah bisa bikin koperasi simpan pinjam, padahal koperasinya sudah banyak, di berbagai daerah juga ada. Jadi kita terapkan sekarang Rp500 juta. Supaya agak membatasi, tapi tidak punya efek, karena tetap. Ini tidak akan berdampak kepada akses masyarakat terhadap pembiayaan,” ujarnya.

Lebih lanjut,

ia menyebut bank-bank di negara barat yang merupakan milik koperasi justru memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, hingga empat kali lipatnya ketimbang bank yang bukan dari koperasi. Karenanya, ia menilai koperasi memiliki potensi.

“Ini yang kita ingin perbaharui model bisnis (koperasi kita). Saya sudah lihat di barat itu, misalnya koperasi penghasil susu terbesar di dunia, di New Zealand itu kan hasil merger,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*